Jalan-jalan! Siapa yang ga suka coba, kalau aku suka banget pastinya!
Tahun lalu, aku udah beberapa kali ikutan ngetrip sama Culture Trip ID! Lucu yah, kok Culture Trip sih?
Jadi, kalau jalan sama Culture Trip ID selain kita memanjakan diri melihat pemandangan alam yang asik, kita juga diajakin ngulik-ngulik berbagai budaya di daerah yang kita kunjungi.
Pas ke Bogor tahun lalu, diajakin muter-muter kota Bogor dan belajar gimana caranya pembuatan tahu, wayang golek, mainin alat musik gamelan, makan-makan di Taman Kencana dan ke pemandian air panas di kaki gunung kapur! Seru yang pasti! Ini beberapa keseruan trip to Buitenzorg with Culture Trip ID tahun lalu guys:
Mejeng dulu di Tourism Information Center Kota Bogor ~
Nah ini keseruan membuat dan mewarnai wayang golekmu sendiri!
Tapi seharian jalan-jalan di Bogor pasti kurang banget yaaa bisa explore Bogor, makanya pengen mengulik objek-objek yang lain lah ~
Nah, kebetulan Culture Trip ID to Bogor is come back this year!
DAAANNNNNNN YANG PENTING ADA SAYEMBARA BUAT DAPETIN TRIP GRATIS!!!
Buat yang mau ikutan trip nya atau mau ikutan sayembara nya add aja official line@ nya di @fen0158a. Dan follow Twitter sama Instagram nya biar tahu info terupdate :))
Ini buat preview aja sih, kalau udah add official line@ nya akan bisa ikut trip draw kaya gini:
Yaudah ya, aku sih mau ikutan Trip to Buitenzorg dengan objek budaya yang berbeda! Kalau kamu?
Ngetrip anti-mainstream ke tempat-tempat indah di bumi pertiwi sambil menelisik kekayaan budayanya
Tampilkan postingan dengan label Cerita Blogger. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Blogger. Tampilkan semua postingan
Kamis, 18 Februari 2016
Jumat, 20 Februari 2015
I Introduce You, @culturetripID
I love writing, traveling, and do love Indonesian culture. From there, I want to travel more, learn more about Indonesian culture, and write about my journey in finding the beauty of Indonesian culture. And the big dream after that is publish the book of it :)
Someday, I told about my mind to introduce and preserve Indonesian culture through traveling to some friends. And lovely, some of them support it. Yudith and Inel support me. They are a couple actually! So lovely :)
Then, one steps to pursue our dream is, we inisiate @culturetripID. We want to introduce and preserve Indonesian culture through traveling. It’s kind of new way of culture tourism. There are so many (hidden) beauty culture near us. But we don’t know about it. Here, @culturetripID will try to find it out for us :)
Another step to pursue our dream is we will write our journey with @culturetripID to find out the (hidden) beauty culture of Indonesia. We hope the journey of finding (hidden) beauty culture with @culturetripID can be published. Aameen :)
Then, we start to realize our dream. Bismillah.
Someday, I told about my mind to introduce and preserve Indonesian culture through traveling to some friends. And lovely, some of them support it. Yudith and Inel support me. They are a couple actually! So lovely :)
Then, one steps to pursue our dream is, we inisiate @culturetripID. We want to introduce and preserve Indonesian culture through traveling. It’s kind of new way of culture tourism. There are so many (hidden) beauty culture near us. But we don’t know about it. Here, @culturetripID will try to find it out for us :)
Another step to pursue our dream is we will write our journey with @culturetripID to find out the (hidden) beauty culture of Indonesia. We hope the journey of finding (hidden) beauty culture with @culturetripID can be published. Aameen :)
Then, we start to realize our dream. Bismillah.
Jumat, 13 Februari 2015
Belajar Membatik Di Kampoeng Batik Palbatu di Jakarta
Kampoeng Batik di Jakarta?
Ya, siapa sangka di Jakarta ada Kampoeng Batik?
Kampoeng Batik ini berada di daerah Palbatu, Tebet, Jakarta Selatan. Komplek perumahan yang tersembunyi ini dipoles menjadi kampoeng batik sejak tahun 2011.
Penampilan Kampoeng Batik Palbatu
Penjelasan Mengenai Sejarah Batik dan Sejarah Kampoeng Batik Palbatu oleh Pak Harry salah seorang pendiri Kampoeng Batik Palbatu
Foto oleh Mba Ninuk
Praktik Membatik
Foto oleh Mba Ninuk
Praktik membatik dimulai dari membuat pola dan menggambarnya dengan pensil di kain katun berwarna putih. Lalu meneteskan malam diatas pola tersebut. Setelah selesai mencanting, dilanjutkan dengan proses pewarnaan. Di sini, proses pewarnaan dilakukan dengan teknik colet.
Hasil Membatikku
Foto oleh Anggi
Oleh Wulan | @S_Wulandarii
Ya, siapa sangka di Jakarta ada Kampoeng Batik?
Kampoeng Batik ini berada di daerah Palbatu, Tebet, Jakarta Selatan. Komplek perumahan yang tersembunyi ini dipoles menjadi kampoeng batik sejak tahun 2011.
Penampilan Kampoeng Batik Palbatu
Penjelasan Mengenai Sejarah Batik dan Sejarah Kampoeng Batik Palbatu oleh Pak Harry salah seorang pendiri Kampoeng Batik Palbatu
Foto oleh Mba Ninuk
Praktik Membatik
Foto oleh Mba Ninuk
Praktik membatik dimulai dari membuat pola dan menggambarnya dengan pensil di kain katun berwarna putih. Lalu meneteskan malam diatas pola tersebut. Setelah selesai mencanting, dilanjutkan dengan proses pewarnaan. Di sini, proses pewarnaan dilakukan dengan teknik colet.
Hasil Membatikku
Foto oleh Anggi
Oleh Wulan | @S_Wulandarii
Ceritaku di Desa Adat Baduy
Pagi itu aku dan beberapa teman dari Jakarta dan Bandung bersiap melakukan perjalanan menuju Desa Adat Baduy. Desa Adat? Ya, desa Baduy memang dinobatkan sebagai desa adat karena masyarakat desa Baduy, terutama desa Baduy Dalam masih menjungjung tinggi dan menjaga adat tradisi para leluhur. Masyarakat Baduy masih tinggal di dalam rumah tradisional yang terbuat dari bilik bambu, dan berbentuk panggung. Baju yang dikenakan juga baju khas baduy yakni kain samping ares dan baju putih atau hitam, serta ikat kepala.
Sore hari mobil kami sampai di Pintu Gerbang Ciboleger. Tembok pembatas antara desa Baduy dan peradaban dari dunia luar. Ya, karena di sini lah titik terakhir kita bisa mengendarai kendaraan bermotor, mendapatkan sinyal telfon dan jaringan internet yang masih bagus, akses pasar, mini market, kamar mandi dan listrik. Ketika kita sudah melewati gerbang dan memasuki desa Baduy? Oh tidak lagi! Tidak ada lagi pasar, toko, sinyal telfon dan internet (susah sekali mendapatkannya), dan kamar mandi pun amat sangat terbatas hanya beberapa rumah yang memiliki kamar mandi. Beberapa orang-orang di Baduy Luar menggunakan lampu solar untuk penerangan di malam hari, dan masih ada beberapa yang menggunakan ceplik (lampu minyak), sedangkan di Baduy Dalam semuanya menggunakan ceplik/lampu minyak.
Patung Selamat Datang di Ciboleger
Foto oleh Wulan
Dari Pintu Gerbang Ciboleger menuju Desa Balimbing di Baduy Luar kita tempuh dengan berjalan kaki. Jalanannya masih tanah, licin, dan turun hujan saat itu. Aku yang belum pernah melakukan perjalanan jauh, terutama di dataran tinggi begini merasa sangat kewalahan, apalagi dengan beban carrier 50L dan turun hujan! Aku sempat terhenti di tengah perjalanan untuk menghela nafas dan menjatuhkan ke carrier ke tanah! Ahh, aku sudah sangat lelah. Tapi teman-teman yang lain membantuku dan kita melanjutkan perjalanan.
Perjalanan menuju Desa Adat Baduy itu sungguh penuh perjuangan!
Akhirnya, petang hari kami sampai di rumah Kang Sarpin, ayah Mul di Desa Balimbing, kita singgah dan tinggal di sini selama di Baduy. Kang Sarpin, bisa dibilang adalah salah satu tokoh pemuda dari Baduy Luar. Kang Sarpin sudah sering menerima tamu dari kota.
Kami, berada di jembatan yang memisahkan desa balimbing dengan desa gazebo
Foto oleh Agung
Desa-desa di Baduy baik di Baduy Luar maupun di Baduy Dalam dipisahkan oleh sungai dan disatukan oleh jembatan yang dibuat dari kayu bambu.
Bersama dengan Ayah Mursyid, Jaro Parowari/Humas dari Desa Cibeo, Baduy Dalam (mengenakan baju khas baduy berwarna putih), Kang Nalim, salah satu warga Desa Cibeo, Baduy Dalam (mengenakan baju khas baduy berbaju hitam), dan Mul, salah satu pemudah di Desa Balimbing, Baduy Luar (mengenakan iket kepala khas baduy)
Foto oleh Agung
Mul meneteskan getah batang kisereh di mata Aldi. Batang kisereh merupakan salah satu tanaman mengobati sakit mata dan menjernihkan mata
Foto oleh Agung
Masyarakat baduy tidak melakukan pengobatan dan pemeriksaan ke dokter atau bidan, mereka (terutama masyarakat Baduy Dalam) dilarang mengikuti modernitas, mengkonsumsi obat-obatan berbahan kimia dan menggunakan sabun. Masyarakat baduy menggunakan tanaman-tanaman untuk pengobatan tradisional dan menggunakan batu untuk menyikat gigi mereka dan tak menggunakan sabun untuk mandi dan mencuci.
Ladang Huma di Baduy Luar
Foto oleh Agung
Pekerjaan utama masyarakat baduy adalah bertani. Mereka menanam padi setahun sekali di ladang huma. Selain padi mereka juga menanam sayuran, cabai, jagung dan umbi-umbian.
Perjalanan dari Desa Balimbing (Baduy Luar) menuju Desa Cibeo (Baduy Dalam)
Foto oleh Agung
Kegiatan Menenun oleh Wanita Baduy
Foto oleh Fikri
Wanita Baduy, (terutama di baduy luar) setiap sore menenun di teras rumahnya. Setiap wanita di baduy seyogyanya bisa menenun, dan kegiatan menenun ini hanya dilakukan oleh para wanita.
Jembatan yang memisahkan desa-desa di Baduy Luar
Foto oleh Fikri
Kegiatan memasak bersama dengan warga baduy luar (Kang Sarpin beserta istri)
Foto oleh Oase
Rumah tradisional masyarakat Baduy Luar
Foto oleh Agung
Leuit, tempat penyimpanan padi masyarakat Baduy
Foto oleh Agung
Leuit merupan tempat penyimpanan padi atau lumbung padi bagi masyarakat baduy. Leuit ini bisa menyimpan padi hingga berumur 100 tahun. Masing-masing kepala keluarga memiliki 1-2 buah leuit. Leuit (padi) ini merupakan salah satu bentuk simpanan kekayaan mereka. Leuit ditempatkan secara berkelompok, terpisah dengan desa/rumah asal pemilik untuk menghindari bencana/kebakaran.
Oleh Wulan | @S_Wulandarii
Sore hari mobil kami sampai di Pintu Gerbang Ciboleger. Tembok pembatas antara desa Baduy dan peradaban dari dunia luar. Ya, karena di sini lah titik terakhir kita bisa mengendarai kendaraan bermotor, mendapatkan sinyal telfon dan jaringan internet yang masih bagus, akses pasar, mini market, kamar mandi dan listrik. Ketika kita sudah melewati gerbang dan memasuki desa Baduy? Oh tidak lagi! Tidak ada lagi pasar, toko, sinyal telfon dan internet (susah sekali mendapatkannya), dan kamar mandi pun amat sangat terbatas hanya beberapa rumah yang memiliki kamar mandi. Beberapa orang-orang di Baduy Luar menggunakan lampu solar untuk penerangan di malam hari, dan masih ada beberapa yang menggunakan ceplik (lampu minyak), sedangkan di Baduy Dalam semuanya menggunakan ceplik/lampu minyak.
Patung Selamat Datang di Ciboleger
Foto oleh Wulan
Dari Pintu Gerbang Ciboleger menuju Desa Balimbing di Baduy Luar kita tempuh dengan berjalan kaki. Jalanannya masih tanah, licin, dan turun hujan saat itu. Aku yang belum pernah melakukan perjalanan jauh, terutama di dataran tinggi begini merasa sangat kewalahan, apalagi dengan beban carrier 50L dan turun hujan! Aku sempat terhenti di tengah perjalanan untuk menghela nafas dan menjatuhkan ke carrier ke tanah! Ahh, aku sudah sangat lelah. Tapi teman-teman yang lain membantuku dan kita melanjutkan perjalanan.
Perjalanan menuju Desa Adat Baduy itu sungguh penuh perjuangan!
Akhirnya, petang hari kami sampai di rumah Kang Sarpin, ayah Mul di Desa Balimbing, kita singgah dan tinggal di sini selama di Baduy. Kang Sarpin, bisa dibilang adalah salah satu tokoh pemuda dari Baduy Luar. Kang Sarpin sudah sering menerima tamu dari kota.
Kami, berada di jembatan yang memisahkan desa balimbing dengan desa gazebo
Foto oleh Agung
Desa-desa di Baduy baik di Baduy Luar maupun di Baduy Dalam dipisahkan oleh sungai dan disatukan oleh jembatan yang dibuat dari kayu bambu.
Bersama dengan Ayah Mursyid, Jaro Parowari/Humas dari Desa Cibeo, Baduy Dalam (mengenakan baju khas baduy berwarna putih), Kang Nalim, salah satu warga Desa Cibeo, Baduy Dalam (mengenakan baju khas baduy berbaju hitam), dan Mul, salah satu pemudah di Desa Balimbing, Baduy Luar (mengenakan iket kepala khas baduy)
Foto oleh Agung
Mul meneteskan getah batang kisereh di mata Aldi. Batang kisereh merupakan salah satu tanaman mengobati sakit mata dan menjernihkan mata
Foto oleh Agung
Masyarakat baduy tidak melakukan pengobatan dan pemeriksaan ke dokter atau bidan, mereka (terutama masyarakat Baduy Dalam) dilarang mengikuti modernitas, mengkonsumsi obat-obatan berbahan kimia dan menggunakan sabun. Masyarakat baduy menggunakan tanaman-tanaman untuk pengobatan tradisional dan menggunakan batu untuk menyikat gigi mereka dan tak menggunakan sabun untuk mandi dan mencuci.
Ladang Huma di Baduy Luar
Foto oleh Agung
Pekerjaan utama masyarakat baduy adalah bertani. Mereka menanam padi setahun sekali di ladang huma. Selain padi mereka juga menanam sayuran, cabai, jagung dan umbi-umbian.
Perjalanan dari Desa Balimbing (Baduy Luar) menuju Desa Cibeo (Baduy Dalam)
Foto oleh Agung
Kegiatan Menenun oleh Wanita Baduy
Foto oleh Fikri
Wanita Baduy, (terutama di baduy luar) setiap sore menenun di teras rumahnya. Setiap wanita di baduy seyogyanya bisa menenun, dan kegiatan menenun ini hanya dilakukan oleh para wanita.
Jembatan yang memisahkan desa-desa di Baduy Luar
Foto oleh Fikri
Kegiatan memasak bersama dengan warga baduy luar (Kang Sarpin beserta istri)
Foto oleh Oase
Rumah tradisional masyarakat Baduy Luar
Foto oleh Agung
Leuit, tempat penyimpanan padi masyarakat Baduy
Foto oleh Agung
Leuit merupan tempat penyimpanan padi atau lumbung padi bagi masyarakat baduy. Leuit ini bisa menyimpan padi hingga berumur 100 tahun. Masing-masing kepala keluarga memiliki 1-2 buah leuit. Leuit (padi) ini merupakan salah satu bentuk simpanan kekayaan mereka. Leuit ditempatkan secara berkelompok, terpisah dengan desa/rumah asal pemilik untuk menghindari bencana/kebakaran.
Oleh Wulan | @S_Wulandarii
Kamis, 12 Februari 2015
Kota Tua (Jakarta), the Architecture Heritage from Netherland
Museum Fatahillah di Kawasan Kota Tua Jakarta
Sumber Foto: http://www.initempatwisata.com/mediafiles/2014/09/Wisata-Kota-Tua-Jakarta.jpg
Tahun 1916, VOC menghancurkan Jayakarta dan membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormatiBatavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini berpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah.
Penduduk Batavia disebut "Batavianen", kemudian dikenal sebagai suku "Betawi", terdiri dari keturunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia.
Kota Batavia dirancang dengan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding kota dan kanal.
Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC dan pusat administratif Hindia Timur Belanda.
Tahun 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan masih berperan sebagai ibu kota Indonesia sampai sekarang.
Kota Tua Jakarta dikenal juga dengan sebutan Batavia Lama (Oud Batavia). Wilayah ini dijuluki sebagai “Permata Asia” dan “Ratu dari Timur” pada abad ke-16 oleh peyar Eropa karena dianggap sebagai pusat perdagangan untuk benua Asia karena lokasinya yang strategis dan sumber daya melimpah.
Tahun 1972, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, mengeluarkan dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan. Keputusan gubernur ini ditujukan untuk melindungi sejarah arsitektur kota — atau setidaknya bangunan yang masih tersisa di sana.
Di kawasan Kota Tua Jakarta terdapat banyak museum yang bisa kunjungi. Ada lima museum keren yang patut kita kunjungi ketika menginjakkan kaki di kawasan kota tua yaitu Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), Museum Wayang, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Bank Indonesia dan Museum Bank Indonesia.
Dari berbagai sumber
Oleh: Wulan | @S_Wulandarii
Sumber Foto: http://www.initempatwisata.com/mediafiles/2014/09/Wisata-Kota-Tua-Jakarta.jpg
Tahun 1916, VOC menghancurkan Jayakarta dan membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormatiBatavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini berpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah.
Penduduk Batavia disebut "Batavianen", kemudian dikenal sebagai suku "Betawi", terdiri dari keturunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia.
Kota Batavia dirancang dengan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding kota dan kanal.
Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC dan pusat administratif Hindia Timur Belanda.
Tahun 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan masih berperan sebagai ibu kota Indonesia sampai sekarang.
Kota Tua Jakarta dikenal juga dengan sebutan Batavia Lama (Oud Batavia). Wilayah ini dijuluki sebagai “Permata Asia” dan “Ratu dari Timur” pada abad ke-16 oleh peyar Eropa karena dianggap sebagai pusat perdagangan untuk benua Asia karena lokasinya yang strategis dan sumber daya melimpah.
Tahun 1972, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, mengeluarkan dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan. Keputusan gubernur ini ditujukan untuk melindungi sejarah arsitektur kota — atau setidaknya bangunan yang masih tersisa di sana.
Di kawasan Kota Tua Jakarta terdapat banyak museum yang bisa kunjungi. Ada lima museum keren yang patut kita kunjungi ketika menginjakkan kaki di kawasan kota tua yaitu Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), Museum Wayang, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Bank Indonesia dan Museum Bank Indonesia.
Dari berbagai sumber
Oleh: Wulan | @S_Wulandarii
Kampung Budaya Betawi, Setu Babakan
Selamat Datang di Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan, Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan
Sumber Foto: http://www.dtjakarta.or.id/arsip/images/stories/setu%20babakan.jpg
Situ berarti danau dalam bahasa Sunda, dan memang Situ Babakan diapit oleh dua buah danau.
Pada tahun 2004, daerah ini dijadikan Pusat Perkampungan Betawi oleh Pemda DKI Jakarta dikarenakan masih banyaknya perkampungan Betawi asli di daerah ini.
Dari Mana Asal Muasal Budaya Betawi?
Kebudayaan Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan kota yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar seperti budaya Arab, Tiongkok, India dan Portugis.
Pendatang-pendatang yang datang ke Jakarta (dulu Batavia) baik dari nusantara maupun dari berbagai Negara lain memberikan pengaruh kebudayaan yang kuat. Perlahan tapi pasti kebudayaan di Jakarta (dulu Batavia) semakin semarak, karena setiap etnis yang datang juga membawa dan mempengaruhi kebudayaan di Jakarta (dulu Batavia).
Misalnya saja, budaya penyalaan petasan, Lenong, Cokek hingga pakaian pernikahan adat Betawi yang didominasi warna merah dipengaruhi oleh budaya Tionghoa.
Musik gambus dari etnis Arab pun mempengaruhi warna music marawis dan tanjidor. Tanjidor sendiri adalah perpaduan budaya Eropa, Tiongkok (China), Melayu dan Arab.
“Mengenal Budaya Betawi di Kampung Setu Babakan”
Ada beberapa budaya tradisional Betawi yang dapat kita jumpai di Kampung Setu Babakan. Yang paling kentara ketika kita menginjakkan kaki di Kampung Setu Babakan adalah rumah-rumah tradisional Betawi yang akan senantiasa menyambut kita. Ada tiga jenis rumah tradisional Betawi di perkampungan ini, yakni Rumah Kebaya, Rumah Kandang, dan Rumah Gudang. Masing-masing rumah ini memiliki ciri khas, keunikan, fungsi dan filosofi tersendiri.
Penampilan Rumah Joglo
Foto oleh Wulan
Selain rumah tradisional, kita juga bisa melihat dan mengikuti latihan tari Betawi yang seringkali diselenggarakan setiap sore hari di pelataran panggung utama Kampung Setu Babakan.
Latihan Menari “Sirih Kuning”
Foto Oleh Jiung
Tari sirih kuning merupakan salah satu tari tradisional Betawi. Tarian ini memiliki makna ….
Di waktu makan siang dan lapar melanda kita bisa mencoba kuliner tradisioal Betawi yang dijajakan di sepanjagn sisi Kampung Setu Babakan. Kita juga bisa mengintip proses pembuatan dodol betawi, bir pletok dan kerak telor dari rumah industrinya langsung.
Acara kesenian Betawi juga sering ditampilkan di panggung terbuka dan panggung utama Kampung Setu Babakan, seperti Tari Cokek, Tari Topeng, Lenong, Tanjidor, Gambang Kromong, Gamelan Topeng, Pencak Silat Betawi dan Ondel-ondel.
Oleh: Wulan | @S_Wulandarii
Sumber Foto: http://www.dtjakarta.or.id/arsip/images/stories/setu%20babakan.jpg
Situ berarti danau dalam bahasa Sunda, dan memang Situ Babakan diapit oleh dua buah danau.
Pada tahun 2004, daerah ini dijadikan Pusat Perkampungan Betawi oleh Pemda DKI Jakarta dikarenakan masih banyaknya perkampungan Betawi asli di daerah ini.
Dari Mana Asal Muasal Budaya Betawi?
Kebudayaan Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan kota yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar seperti budaya Arab, Tiongkok, India dan Portugis.
Pendatang-pendatang yang datang ke Jakarta (dulu Batavia) baik dari nusantara maupun dari berbagai Negara lain memberikan pengaruh kebudayaan yang kuat. Perlahan tapi pasti kebudayaan di Jakarta (dulu Batavia) semakin semarak, karena setiap etnis yang datang juga membawa dan mempengaruhi kebudayaan di Jakarta (dulu Batavia).
Misalnya saja, budaya penyalaan petasan, Lenong, Cokek hingga pakaian pernikahan adat Betawi yang didominasi warna merah dipengaruhi oleh budaya Tionghoa.
Musik gambus dari etnis Arab pun mempengaruhi warna music marawis dan tanjidor. Tanjidor sendiri adalah perpaduan budaya Eropa, Tiongkok (China), Melayu dan Arab.
“Mengenal Budaya Betawi di Kampung Setu Babakan”
Ada beberapa budaya tradisional Betawi yang dapat kita jumpai di Kampung Setu Babakan. Yang paling kentara ketika kita menginjakkan kaki di Kampung Setu Babakan adalah rumah-rumah tradisional Betawi yang akan senantiasa menyambut kita. Ada tiga jenis rumah tradisional Betawi di perkampungan ini, yakni Rumah Kebaya, Rumah Kandang, dan Rumah Gudang. Masing-masing rumah ini memiliki ciri khas, keunikan, fungsi dan filosofi tersendiri.
Penampilan Rumah Joglo
Foto oleh Wulan
Selain rumah tradisional, kita juga bisa melihat dan mengikuti latihan tari Betawi yang seringkali diselenggarakan setiap sore hari di pelataran panggung utama Kampung Setu Babakan.
Latihan Menari “Sirih Kuning”
Foto Oleh Jiung
Tari sirih kuning merupakan salah satu tari tradisional Betawi. Tarian ini memiliki makna ….
Di waktu makan siang dan lapar melanda kita bisa mencoba kuliner tradisioal Betawi yang dijajakan di sepanjagn sisi Kampung Setu Babakan. Kita juga bisa mengintip proses pembuatan dodol betawi, bir pletok dan kerak telor dari rumah industrinya langsung.
Acara kesenian Betawi juga sering ditampilkan di panggung terbuka dan panggung utama Kampung Setu Babakan, seperti Tari Cokek, Tari Topeng, Lenong, Tanjidor, Gambang Kromong, Gamelan Topeng, Pencak Silat Betawi dan Ondel-ondel.
Oleh: Wulan | @S_Wulandarii
Sejarah Jakarta
Sumber Foto: http://indonesia.travel/media/images/upload/image/14_%20DKI%20Jakarta%20Province.jpg
Batavia dan Betawi
Asal mulanya keberadaan orang Betawi dibentuk oleh Husni Tamrin Samratulangi yang terdiri dari berbagai etnis di Nusantara yang bermukim di Batavia termasuk orang Tiongkok (China), Arab, India, Portugis dan negara-negara lain pada tahun 1920-an dengan nama Komunitas Batavia, namun bergeser namanya menjadi kaum Betawi. Jadi kaum Betawi/etnis Betawi ini merupakan campuran dari berbagai etnis di nusantara dan orang asing tersebut, sehingga budaya dan bahasanya juga merupakan perpaduan dan percampuran dari etnis-etnis tersebut.
Penduduk Batavia disebut "Batavianen", kemudian dikenal sebagai suku "Betawi", terdiri dari keturunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia.
Sejarah (Nama) Jakarta
Nama Jakarta dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta yang diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527.
Nama Jayakarta biasaya diterjemahkan sebagai “kota kemenangan” atau “kota kejayaan”, namun sejatinya artinya adalah “kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha.”
Sunda Kelapa (397-1527)
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kelapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Sunda Kelapa merupakan pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda.
Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang sibuk, sejak abad ke-12 kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan dan Timur Tengah berlabuh membawa barang dagangan mereka untuk ditukar dengan rempah-rempah.
Jayakarta (1527-1619)
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Raja Sunda, Surawisesa, meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Namun, sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak (di bawah pimpinan Fatahillah) langsung menyerang pelabuhan tersebut. Pendudukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah terjadi pada tanggal 22 Juni 1527. Fatahillah mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta yang berarti “kota kemenangan”. Dan tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Jakarta.
Batavia (1619-1942)
Orang Belanda datang ke Jakarta sekitar abad ke-16. Pada tahun 1619, VOC dipimpin oleh JP. Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan Kasultanan Banten, kemudian mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Belanda membangun kota Batavia dengan mendatangkan budak-budak dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok dan India sebagai pekerja. Sebagian orang berpendapat bahwa mereka lah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan suku Betawi. Pada saat kolonialisasi Belanda, Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara.
Jakarta Toko Betsu Shi (1942-1945)
Pendudukan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Pendudukan Jepang berakhir pada tahun 1945, ketika bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dan melangsungkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur.
Jakarta (1945 – sekarang)
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status kota Djakarta berubah dari kotapraja (di bawah walikota) menjadi daerah tingkat I/Dati I (di bawah gubernur). Dan pada tahun 1961, status Jakarta berubah menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) di bawah pimpinan gubernur.
Dari berbagai sumber
Oleh: Wulan | @S_Wulandarii
Batavia dan Betawi
Asal mulanya keberadaan orang Betawi dibentuk oleh Husni Tamrin Samratulangi yang terdiri dari berbagai etnis di Nusantara yang bermukim di Batavia termasuk orang Tiongkok (China), Arab, India, Portugis dan negara-negara lain pada tahun 1920-an dengan nama Komunitas Batavia, namun bergeser namanya menjadi kaum Betawi. Jadi kaum Betawi/etnis Betawi ini merupakan campuran dari berbagai etnis di nusantara dan orang asing tersebut, sehingga budaya dan bahasanya juga merupakan perpaduan dan percampuran dari etnis-etnis tersebut.
Penduduk Batavia disebut "Batavianen", kemudian dikenal sebagai suku "Betawi", terdiri dari keturunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia.
Sejarah (Nama) Jakarta
Nama Jakarta dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta yang diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527.
Nama Jayakarta biasaya diterjemahkan sebagai “kota kemenangan” atau “kota kejayaan”, namun sejatinya artinya adalah “kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha.”
Sunda Kelapa (397-1527)
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kelapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Sunda Kelapa merupakan pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda.
Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang sibuk, sejak abad ke-12 kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan dan Timur Tengah berlabuh membawa barang dagangan mereka untuk ditukar dengan rempah-rempah.
Jayakarta (1527-1619)
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Raja Sunda, Surawisesa, meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Namun, sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak (di bawah pimpinan Fatahillah) langsung menyerang pelabuhan tersebut. Pendudukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah terjadi pada tanggal 22 Juni 1527. Fatahillah mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta yang berarti “kota kemenangan”. Dan tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Jakarta.
Batavia (1619-1942)
Orang Belanda datang ke Jakarta sekitar abad ke-16. Pada tahun 1619, VOC dipimpin oleh JP. Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan Kasultanan Banten, kemudian mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Belanda membangun kota Batavia dengan mendatangkan budak-budak dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok dan India sebagai pekerja. Sebagian orang berpendapat bahwa mereka lah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan suku Betawi. Pada saat kolonialisasi Belanda, Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara.
Jakarta Toko Betsu Shi (1942-1945)
Pendudukan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Pendudukan Jepang berakhir pada tahun 1945, ketika bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dan melangsungkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur.
Jakarta (1945 – sekarang)
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status kota Djakarta berubah dari kotapraja (di bawah walikota) menjadi daerah tingkat I/Dati I (di bawah gubernur). Dan pada tahun 1961, status Jakarta berubah menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) di bawah pimpinan gubernur.
Dari berbagai sumber
Oleh: Wulan | @S_Wulandarii
Langganan:
Postingan (Atom)